LEGENDA GUNUNG BATU HAPU
Tidak berapa jauh dari kota Rantau, ibu
kota Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan Selatan terdapat dua desa bernama
Tambarangan dan Lawahan. Menurut cerita orang tua-tua, dahulu kala di
perbatasan kedua desa itu hiduplah seorang janda miskin bersama putranya. Nama
janda itu Nini Kudampai, sedangkan nama putranya Angui.
Mereka tidak mempunyai keluarga dekat sehingga tidak ada yang
membantu meringankan beban anak beranak itu. Walaupun demikian, Nini Kudampai
tidak pernah mengeluh. Ia bekerja sekuat tenaga agar kehidupannya dengan
anaknya terpenuhi.
Saat itu, Angui masih kecil sehingga ia masih senang bermain,
belum ada kesadaran untuk menolong ibunya bekerja. Angui tidak mempunyai teman
sebaya sebagai teman bermain. Sebagai gantinya, ia ditemani tiga ekor hewan
kesayangannya, yaitu ayam jantan putih, babi putih, dan seekor anjing yang juga
putih bulunya. Ke mana pun ia pergi, ketiga ekor hewan kesayangan itu selalu
menyertainya. Mereka tampak sangat akrab.
Pada suatu hari, ketika Angui sedang bermain di halaman rumah,
melintaslah seorang saudagar Keling. Saudagar itu amat tertarik kepada Angui
setelah menatap Angui yang sedang bermain. Ia berdiri tidak begitu jauh dari
tempat Angui bermain. Angui terus diamatinya. Dari hasil pengamatan itu, ia
mendapatkan sesuatu yang menonjol pada penampilan Angui. Air muka Angui selalu
jernih dan cerah. Ubun-ubunnya kelihatan berlembah. Dahinya lebar dan lurus.
Jari-jarinya panjang dan runcing ke ujung. Di ujung-ujung jari itu terdapat
kuku laki yang bagus bentuknya. Satu hal yang memikat adalah adanya tahi lalat
yang dimiliki Angui. Tahi lalat seperti itu dinamakan kumbang bernaung.
Saudagar Keling mendapat firasat bahwa tanda-tanda fisik yang
dimiliki Angui menunjukkan nasib balk atau keberuntungannya. Barang siapa
memelihara anak itu akan bernasib mujur.
“Aku harus mendapatkan anak itu,” katanya dalam hati. Tanpa
menyia-nyiakan waktu, saudagar itu segera menemui Nini Kudampai, sang ibu.
Dengan keramahan dan kefasihan lidahnya berbicara selain janji-janji yang
disampaikan, ia dapat menaklukkan hati Nini Kudampai. Nini Kudampai tidak
keberatan jika Angui diasuh dan dipelihara saudagar itu. Angui pun amat
tertarik untuk mengikuti saudagar itu pulang ke negerinya.
“Anak lbu tidak akan hilang,” kata saudagar itu meyakinkan.
“Percayalah Bu, suatu saat kelak ia pasti kembali menemui ibunya, bukan sebagai
Angui yang sekarang ini, tetapi sebagai orang ternama.”
Walaupun Nini Kudampai telah merelakan kepergian anaknya, ia
tidak dapat menyembunyikan rasa harunya ketika akan berpisah. Kesedihan dan
keharuan kian bertambah ketika Angui meminta agar ketiga hewan teman bermainnya
selama ini dipelihara sebaik-baiknya oleh ibunya.
“Bu, tolong Ibu jaga babi putih, anjing putih, dan ayam putihku.
Jangan Ibu sia-siakan!” kata Angui sambil mencium tangan ibunya dengan linangan
air mata.
Saudagar Keling pulang ke negerinya dan tiba dengan selamat
bersama Angui. Angui diasuh dan dipeliharanya, tak ubahnya memelihara anak
kandung. Angui hidup bermanja-manja karena kehendaknya selalu dikabulkan orang
tua asuhnya. Kemanjaan itu berakibat buruk kepadanya. Ia lupa diri dan menjadi
anak nakal, pemalas, serta pemboros.
Saudagar Keling sering tercenung seorang diri.
“Firasatku ternyata salah,” katanya dalam hati, “rupanya keadaan
lahir belum tentu mencerminkan sifat dan watak seseorang.”
Saudagar Keling merasa tidak mampu lagi menjadi orang tua asuh
Angui. Kehadiran Angui dalam keluarga itu hanya menyusahkannya saja. Tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh selain mengusir Angui. Saudagar Keling itu tidak
mau memeliharanya lagi.
Angui amat menyesali kelakuannya selama ini. Apa dayanya karena
sesal kemudian tiada guna. Ia hidup luntang-lantung tiada arah. Kesempatan baik
telah disia-siakannya.
Syukurlah, lambat laun Angui mampu mengatasi keputusasaannya.
“Aku harus menjadi manusia yang berhasil,” katanya penuh tekad.
Ia menanggalkan sikap malasnya dan mau bekerja membanting
tulang. Ia tidak merasa malu melakukan pekerjaan apa pun, asal pekerjaan itu
halal.
Beberapa tahun kemudian, berkat kerja keras dan kejujurannya
dalam bekerja, is menjadi seorang saudagar kaya. Kekayaannya tidak kalah
dibanding kekayaan saudagar Keling yang pernah menjadi orang tua asuhnya.
Ketenarannya melebihi saudagar Keling itu.
Akhirnya, kekayaan Angui melebihi kekayaan siapa pun di negeri
Keling itu. Namanya makin terkenal setelah is berhasil menyunting putri raja
Keling menjadi istrinya. Sejak menjadi menantu raja, Angui mendapat nama baru,
yakni Bambang Padmaraga.
Meskipun sudah kaya, Angui alias Bambang Padmaraga sering
terkenang kampung halamannya. Ia amat rindu kepada ibunya, Nini Kudampai. Ia
juga teringat pada babi putih, anjing putih, dan ayam putih, ketiga teman
bermain yang disayanginya. Selain itu, ia ingin memperkenalkan istrinya kepada
ibunya dan menunjukkan keberhasilannya di perantauan. Ia ingin membahagiakan
ibunya yang bertahun-tahun ditinggalkannya tanpa berita.
Pada suatu hari, Angui mempersiapkan sebuah kapal yang lengkap
dengan anak buahnya. Tidak lupa pula bekal untuk perjalanan jauh dan cendera
mata, Inang pengasuh bagi istrinya turut serta dalam pelayaran ke negerinya. Ia
dan istrinya menempati sebuah bilik khusus di dalam kapal yang ditata begitu
apik seperti dalam sebuah istana.
Berita kembalinya Angui dan istrinya, putri raja Keling, dengan
naik kapal segera tersiar ke seluruh penjuru. Nini Kudampai pun mendengar
dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Apalagi kapal putranya itu konon merapat
dan bersandar tidak berapa jauh dari kediamannya.
Nini Kudampai segera berangkat ke
pelabuhan dengan menggiring ketiga hewan piaraan teman bermain Angui, yaitu
babi putih, anjing putih, dan ayam putih. Ia berharap agar Angui segera mengenalinya
dengan melihat ketiga hewan itu.
Nini Kudampai pun berseru melihat Angui berdiri berdampingan
dengan istrinya di atas kapal, “Anakku!”
Sebenarnya, Angui mengenali ibunya dan ketiga hewan piaraannya.
Akan tetapi, ia malu mengakuinya di hadapan istrinya karena penampilan ibunya
sangat kumal. Jauh berbeda dengan ia dan istrinya. Ia memalingkan muka dan
memberi perintah kepada anak buahnya, “Usir perempuan jembel itu!”
Hancur Iuluh hati Nini Kudampai diusir dan dipermalukan putra
kandung yang dilahirkan dan dibesarkannya. Angui mendurhakainya sebagai ibu
kandung. Ibu yang malang itu segera pulang ke rumah. Tiba di rumah, is memohon
kepada Yang Mahakuasa agar Angui menerima kutukan.
Belum pecah riak di bibir, begitu selesai Nini kudampai
menyampaikan permohonan kepada Tuhan, topan pun mengganas. Petir dan halilintar
menggelegar membelah bumi. Kilat sabung-menyabung dan langit mendadak gelap
gulita. Hujan deras bagai dituang dari langit. Gelombang menggulung kapal
bersama Angui dan istri serta anak buahnya. Kapal dan segenap isinya itu
terdarnpar di antara Tambarangan dan Lawahan. Akhirnya, kapal dan isinya
berubah menjadi batu.
Itulah sekarang yang dikenal sebagai Gunung Batu Hapu, yang telah dibenahi pemerintah menjadi objek pariwisata. Setiap saat, terutama hari libur, tempat itu banyak dikunjungi orang di Kalimantan Selatan.
Keadaan di Dalam Goa Hapu
Jalan Masuk Setapak menuju ke dalam Goa
Ingin Lebih Jelasnya anda bisa Mampir ke TKP nya :
atau
0 komentar:
Posting Komentar